Antara Horror vs Kocak di Gunung Arjuna & Welirang (Bagian 3)

Sebelumnya


5 November 2016

“Pagi sayang... Sini minum dulu teh hangatnya”, tiba-tiba ada senyum manis menyapa, membuat saya ingin cepat mendekat meski mata ini masih perih dibuka.

Heh, khayalan ding itu khayalan. Salah, salah.



Tiga tas berisi logistik yang ditinggal di jalur semalam sudah diambil, langsung masak-masak, makan, tertawa, kemudian langsung berangkat menuju puncak Gunung Welirang. Cuaca cerah sekali pagi itu setelah semalam sedikit gerimis. Kami baru bergerak menuju jalur puncak sekitar pukul 9 pagi dengan bekal nasi dan lauk untuk makan siang. Ada yang lucu. Saya dan kawan Malaysia terjebak dalam satu kata yang sulit saya pahami. "Lia, bisakah kita nak bawa nasi di dalam .....", pinta salah satu kawan dari Kuala Lumpur, saya lupa kata asing apa yang disebutkan. Hah? Nasi ditaruh di nesting? Di piring? Di daun? Lama kami ber-hah? hah? Serasa sedang rapat sama pejabat, alot. Kami lupa bahwa di bumi ini ada bahasa yang bisa dipahami semua negara, "Take away, nah, iya take away" kata salah satu dari mereka. Owalaaah jhon, bungkus maksudnya?!


Pos III sumber airnya berlimpah, ada kolam penampungan dengan air yang mengalir dari selang-selang buatan warga. Pos ini juga merupakan percabangan menuju Puncak Gunung Arjuna dan Welirang. Enaknya, kita muncak dulu ke Welirang yang berjarak lebih dekat, kemudian besoknya ke puncak Arjuna yang lebih jauh. 


Puncak Gunung Welirang

Perjalanan ke puncak Gunung Welirang bisa dibilang lancar meski kecepatan kami tetap santai. Kami kembali lagi ke Pos III sekitar pukul 4 sore. Posisi tenda yang semalam berpencar, kini sudah disatukan oleh Kang Rizal. Dia tidak ikut bersama kami menuju puncak Gunung Welirang, alasannya kaki masih sakit sehingga harus irit tenaga untuk turun gunung besok.




Sore harinya, kami ribut sekali ketika masak-masak bareng. Ada Mpok Rani yang tiba-tiba duduk di antara dua kompor, mencari kehangatan katanya, ada Kak Nurul yang disuruh puterin pemantik kompor untuk ngecilin apinya, eh malah yang diputer kompornya - digeser pindah tempat. Ada lagi, Bang Iway yang suaranya gak pernah diam silih berganti dengan Kak Nurul meributkan gorengannya.

“Lampu dong, gelap nih”, saya bilang ke teman-teman yang dari tadi asik nongkrong depan dapur, langsung Kak Cakra sibuk mengeluarkan senter, memasangnya di dapur ala-ala kami. “Duh, bosen nih, puterin lagu dong, nih pakai HPku saja”, saya tak mau kalah heboh dengan mereka.

Malam itu ditutup dengan nasi buatan Kang Rizal yang rasanya asin sekali. Niatnya sih mau dijadikan sebagai bekal besok menuju puncak Gunung Arjuna. Tapi makasih lho kang.

Entah jam berapa, saya kebangun karena sebelah saya ada yang berisik. Rupanya Kak Lady yang menggigil sambil meracau. Langsung saja saya bangunkan Kak Achmad yang berada di sebelah Kak Lady untuk bantu memeluk kenangan. Heh, salah. Kami peluk Kak Lady, saya tumpukkan kaki di atas kaki Kak Lady, tidak berapa lama langsung reda menggigilnya.




6 November 2016

Puncak Gunung Arjuna

Perjalanan ke Puncak Gunung Arjuna pun bisa dikatakan lancar. Jalurnya ke arah kiri dari Pos III yang tidak lama kemudian melewati Lembah Kidang. Kali ini giliran Kak Dian yang tidak ikut ke puncak karena tidak tahan sejuk (red: dingin). Kami mulai perjalanan hampir pukul 5 pagi dari Pos III, suhu memang sedang rendah-rendahnya.
Matahari terbit tepat saat kami melintasi Lembah Kidang. Bagus? Iyaaaa baguuuuus sampai kami foto satu per satu gantian dengan latar matahari terbit. Norak? Biarin, wek.

Tim kami terpisah-pisah, tiga kawan pelari sudah menyalip kami jauh di depan, padahal kami tadi pagi jalan duluan. Tapi tidak masalah, toh jalurnya jelas dan cuaca cerah, kecil kemungkinan nyasar.

Ketika sampai di pertigaan Arjuno dan Welirang, saya melihat ada satu orang yang jalannya lurus ke arah Welirang. Warna tasnya mentereng, sepertinya kenal, lha, itu kan Kak Sanjay. “Wooooy, Sanjaaaay, emang itu jalurnya? Salaaaaah kaliiii, balik siniiii”, saya teriak kencang sampai tenggorokan sakit. Saya bertanya pada rombongan lain yang kebetulan berada di pertigaan itu, benar saja, jalur menuju Puncak Arjuna seharusnya belok kiri, bukan lurus. “Woooooooy, cepetan turuuuuun sini”, teriak saya lagi, maksimal. Akhirnya nih orang nurut turun, alhamdulillah Yaa Rabb, pita suara saya masih utuh.

Sebelum sampai puncak, teman baru kami yang nemu di basecamp, bernama Gustam, jalan dengan posisi badan yang tidak tegak, tapi merangkak. Ini terlihat aneh karena kami semua masih bisa melalui jalur dengan berjalan normal karena jurang sisi kanan dan kiri cukup jauh. Rupanya, Gustam memiliki fobia ketinggian. Ini sih gimana, takut ketinggian lha kok malah naik gunung tho Leeee...
Saya sempat tidur di Puncak Gunung Arjuna sambil menunggu kawan lainnya sampai. Siang itu, kabut di puncak datang dan pergi sesuka hati, seperti nama kamu yang seliweran seenaknya di HP saya. Matahari pun cerah membuat kulit terasa panas dan sakit tersengat langsung.



Hari sudah sore sekali ketika kami selesai packing di Pos III, bersiap untuk turun ke basecamp. Satu per satu mulai jalan, hingga menjelang maghrib di jalur, saya dan Bang Arul mendengar suara yang membuat bulu kuduk merinding itu.

Pukul 8 malam, tim kami terpecah: empat kawan pelari sudah jauh di depan, disusul Kang Rizal yang sendirian, kemudian saya dengan Mpok Rani, selebihnya jauh di belakang kami. Sampai di Pos II, semuanya dalam kondisi lelah, stamina turun. Teman-teman cowok menyarankan untuk bermalam di Pos II saja, cari aman. Semuanya nurut, termasuk saya. Tim Kak Dian dan tiga kawannya jalan terus sampai basecamp malam itu juga.



7 November 2016

Yakin, nggak nyesel bermalam sekali lagi di Pos II karena pagi harinya kami disuguhi matahari terbit berwarna keemasan. Tenaga sudah pulih, semuanya melesat dengan cepat turun ke basecamp. 



“Kyaaaaaaaaaa”
“Yaaaaaaahhhhhh”
“Waduuuuuhhhhh”
Semuanya berteriak ketika kami sampai di peron stasiun kereta api, melihat kereta yang akan kami naiki perlahan-lahan jalan, meninggalkan kami.





“Bhahahahahaha, dadaaaaah”, entah kenapa yang bisa saya lakukan hanya tertawa. Ini nggak seberapa sakitnya dibandingkan dengan ditinggal seseorang tau... (iya, tapi kok mata jadi panas gini ya)

Drama ketinggalan kereta api terjadi di salah satu stasiun kereta api di Surabaya. Tanpa berlarut-larut, kami langsung membeli tiket keberangkatan malam harinya.


Terima kasih Mba Nisa pemberian oleh-olehnya dan dengan ikhlas hati mengunjungi camp kami di Pos III! Iya, Mba Nisa rela mengantar jeruk 1 kg untuk dia, eh kami, langsung diantar ke gunung. Hebat ya kekuatan orang yang lagi kasmaran, ecieciee, haha!
Terima kasih Mas Dan yang menampung kami di rumah sebelum jadwal kereta kami berangkat. Ada hikmahnya juga tertinggal kereta api di Surabaya, saya jadi sempat sholat maghrib di Masjid Sunan Ampel yang melegenda. Saya juga sempat mendatangi kafe favorit yang tidak ada di Jakarta, namanya Loko Cafe di Stasiun Gubeng, seperti biasa saya pesan minuman wajib yaitu Iced Hazelnut Coffee Float, nyum!


Ah, saya senang mendaki bersama kalian. Ayolah naik gunung lagi, kuy!




Komentar

  1. Halo kak Lia. Salam kenal ya. Tulisannya seru, jadi asik bacanya. Jadi kangen sama savananya Lembah Kidang. Akupun sama kaya kamu, mbak. Paling ga demen sama jalur makadam, apalagi pas turun gunung�� ditunggu tulisan selanjutnya mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo kak Audrey, terima kasih ya. Ayo naik gunung bareng, nanti saya buatin tulisannya :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

15 Jam untuk "Tektok" Gunung Pangrango, Jawa Barat

Pengibaran Bendera Sepanjang 1 Kilometer di Gunung Rakutak, Bandung

Backpacker ke Dieng, Wonosobo